Alfafa bagi masyarakat Indonesia sangatlah asing, hanya
sebagian masyarakat kita yang mengenal tanaman ini. Tanaman leguminosa tahunan
ini dinilai istimewa karena kekayaan nutrisi dan fitogenik serta banyak
kegunaan. Dunia Arab memberinya nama Al-Fisfisa, yang bahasa Spayol menjadi
Alfalfa dan artinya “Bapak Semua Makanan”. Di Amerika Serikat dijuluki sebagai
“Queen of the Forages” (ratu semua hijauan pakan) dan merupakan tanaman
komersial dengan total areal nomor empat setelah jagung, gandum, dan kedelai.
Sejak tahun 1990-an, Indonesia sudah mulai mengembangkan
budidaya alfalfa. Dan ilmuwan Indonesia sudah berhasil merintis budidaya alfalfa
di dataran rendah yang disebut Alfalfa Tropika yang disingkat Alfata. Berbagai
penelitian lain juga menunjukkan alfalfa berpeluang besar dibudidayakan di
Indonesia, tidak hanya di dataran tingginya, dan bisa dikembangkan di lahan
kering. Di Indonesia kini sudah ada kebun-kebun alfalfa yang hasilnya bahkan
sudah ada yang diekspor.
Multiguna
Alfalfa diduga
merupakan tanaman asli Asia Barat daya dan sudah digunakan di Persia ribuan
tahun Sebelum Masehi (SM), diperkenalkan ke Eropa abad kelima SM, dibawa bangsa
Spanyol ke Amerika Selatan dan memasuki Amerika Serikat tahun 1800-an. Dari
awal sudah digunakan sebagai pakan ruminansia, utamanya kuda dan sapi, dan
sebagai makanan dan minuman kesehatan dari daun, biji dan kecambah alfalfa.
Alfalfa dikenal sebagai hijauan pakan yang kandungan nutrisinya paling lengkap
(sekitar 60 jenis) dengan tingkat kandungan paling tinggi di antara semua
hijauan leguminosa pakan. Alfalfa kini telah menjadi pakan hijauan yang paling
besar produksi globalnya di banding pakan hijauan lainnya.
Tanaman alfalfa (Medicago sativa) termasuk dalam famili
Fabaceae dan genus Medicago. Bersifat perennial, bisa bertahan beberapa tahun
dengan panen berkali-kali dalam setahun. Tinggi berkisar satu meter, dan akar
masuk ke tanah sampai kedalaman 2-4 meter. Dibanding leguminosa lainnya,
alfalfa lebih tahan terhadap kekeringan. Pada musim kemarau yang parah mampu
melakukan dormansi (tidak aktif) dan aktif kembali bila tingkat kelembaban
sudah sesuai.
Daftar nutrisi pada alfalfa panjang dengan tingkat kandungan
yang tinggi. Di antaranya, kandungan protein sekitar 15-22%. Ada vitamin A, B1,
B2, B6, B12, C, D, E, K, Niacin, asam panthotenic, asam folat, inocitole,
biotin. Ada mineral P, Ca, K, Na, Cl, S, Mg, Cu, Fe, Co, B, Mo, Ni, Pb, Sr, dan
Pd. Kandungan serat rendah sehingga mudah dicerna hewan ternak.
Kegunaan utama
alfalfa, khusus daun dan tangkainya, sejak dahulu ialah sebagai pakan ternak
ruminansia. Belakangan ini sudah digunakan sebgai pakan untuk unggas dan ternak
lainnya.
Alfalfa juga digunakan sebagai pangan manusia, khususnya
kecambah bijinya yang sudah popular di berbagai negara. Sejak zaman purba,
alfalfa juga dikenal sebagai tanaman herbal yang berkhasiat memelihara
kesehatan dan menangkal penyakit. Dunia industri sekarang mengolah alfalfa
untuk memproduksi enzim-enzim industrial seperti peroxidase, alphaamylase,
sellulase dan phytase.
Penghimpunan nitrogen melalui bintil-bintil akar serta
cekaman akarnya yang mendalam menjadikan alfalfa cocok dijadikan tanaman untuk
bioremidiasi maupun konservasi tanah, termasuk menahan erosi di lahan miring
sampai kemiringan 80%. Juga sebagai tanaman rotasi untuk menyingkirkan hama
atau penyakit tanaman tertentu. Dan belakangan ini sudah pula mulai
dimanfaatkan sebagai sumber biofuel untuk pembangkit tenaga listrik.
Alfalfa Tropika

IAC telah berhasil mengembangkan alfalfa tropika (alfata)
melalui sistem keseimbangan interflow, yakni mengkondisikan iklim mikro bawah
tanah agar biji alfalfa dari daerah subtropik bisa tumbuh baik dan menghasilkan
alfalfa dengan kandungan nutrisi tetap tinggi. Alfalta dalam beberapa aspek
dinyatakan bahkan lebih unggul dari alfalfa tropis. Yakni panen bisa sekali 21
hari (subtropics 2 bulan sekali), kandungan protein 32% (dibanding 21%), usia
produksi 3 tahun (dibanding 1 tahun), produksi 15 ton/ha (dibanding 10 ton/ha,
media tanam segala jenis tanah termasuk lahan tidak produktif, dibanging tanah
gromosol).
Sementara itu, hasil riset Widyati Slamet dkk (2009) dari
Universitas Diponegoro, Semarang menunjukkan media tanam tidak memengaruhi
produksi dan kualitas protein kasar, serat kasar, kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik hijauan alfalfa pada pemotongan pertama. Semakin tinggi
persentase pemberian kompos pada media tanam, produksi dan mutu hijauan alfalfa
akan ikut meningkat. Sedangkan Juniar Sirait dkk dari Loka Penelitian Kambing
Potong, Sungai Putih, Sumatera Utara menyimpulkan alfalfa yang ditanam di
dataran tinggi beriklim basah Kabupaten Karo potensial digunakan sebagai bahan
pakan kambing. Alasannya, pertumbuhan alfalfa baik, produksi cukup tinggi,
nilai nutrisi di atas rumput alam dan merupakan sumber kaya protein dengan
palabilitas cukup tinggi.
Pakan sejauh ini merupakan salah satu masalah utama dalam
pengembangan ternak di Indonesia. Alfalfa berpeluang dijadikan sebagai salah
satu jawaban strategis bagi masa depan peternakan di Indonesia. (Sumber : Sinar Tani Edisi 15-21 Pebruari 2012
No. 3444 Tahun XLII)
Informasi lebih lanjut bagaimana analisa bisnis Alfalfa, cara
budidaya, dan teknologi integrasi dengan peternakan & pertanian Hub. 081
233 129 267 / griyaternak